Presiden Jokowi Resmi Naikkan Royalti Batu Bara Maksimal 13,5 Persen


 Presiden Joko Widodo atau Jokowi resmi menaikan tarif royalti batu baru bagi perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambahan (IUP) batu bara.

Royalti tersebut meningkat maksimal 13,5 persen dari harga jual per ton secara progesif karena menyesuaikan dengan Harga Batu Bara Acuan (HBA).

"Untuk melakukan penyesuaian jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak," berikut bunyi poin pertimbangan dalam aturan yang diteken Jokowi pada 15 Agustus 2022.

Ketentuan anyar mengenai royalti batu bara tertuang dalam Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 26 Tahun 2022 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Beleid itu sekaligus mencabut PP Nomor 81 Tahun 2019.

Dalam aturan baru, tarif royalti progresif yang menyesuaikan dengan HBA. Rinciannya ialah sebagai berikut.

1. Tingkat Kalori 4.200 Kkal/kg ke bawah

- HBA di bawah US$ 70: 5 persen

- HBA US$ 70 - 90: 6 persen

- HBA US$ 90 ke atas: 8 persen

2. Tingkat Kalori 4.200-5.200 Kkal/kg

- HBA di bawah US$ 70: 7 persen

- HBA US$ 70 - 90: 8,5 persen

- HBA US$ 90 ke atas: 10,5 persen

3. Tingkat Kalori 5.200 Kkal/kg ke atas

- HBA di bawah US$ 70: 9,5 persen

- HBA US$ 70 - 90: 11,5 persen

- HBA US$ 90 ke atas: 13,5 persen

Sedangkan dalam aturan lama, yaitu PP 81, penerimaan batu bara (open pit) dibagi menjadi tiga kelompok.

1. Tingkat Kalori 4.700 Kkal/kg ke bawah: 3 persen dari harga jual

2. Tingkat Kalori 4.700-5.700 Kkal/kg: 5 persen dari harga jual

3. Tingkat Kalori 5.700 ke atas: 7 peren dari harga jual

Sebelumnya, sinyal kenaikan tarif royalti ini sudah disampaikan Menteri ESDM Arifin Tasrif saat rapat kerja dengan Komisi VII DPR pada 9 Agustus 2022.

“Royalti yang progresif itu sudah kita usulkan untuk direvisi dalam PP 81, jadi nanti mengikuti perkembangan harga,” kata Arifin.

Arifin menyebutkan kebijakan itu akan diselesaikan berbarengan dengan komitmen pemerintah untuk segera merampungkan pembentukan badan layanan umum (BLU) batu bara pada tahun ini.

Ia berharap dua skema pungutan yang mengacu pada fluktuasi harga di pasar dunia itu dapat ikut mengoptimalkan kebijakan kewajiban pasokan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) batu bara untuk industri domestik.

“Sudah masuk dalam perencanaan kita,” tuturnya.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menilai kenaikan tarif royalti progresif tersebut akan memberatkan sejumlah perusahaan di masa mendatang.

Sebab, tarif tersebut bakal berlaku dalam kurun waktu yang panjang, sedangkan momentum harga saat ini masih dinamis mengikuti mekanisme pasar.

“Ini kan harga (batu bara) gak bertahan lama, bisa saja dia (harga) akan tertekan. Kalau harga mulai tertekan, tarif yang diterapkan tinggi, itu akan sangat terasa nantinya,” ujarnya ketika dihubungi.

Padahal, menurut Hendra, biaya pokok produksi (BPP) pertambangan batu bara akan terus naik per tahun. Tren tersebut dipicu oleh inflasi dan kondisi makro perekonomian yang ikut menekan margin dari usaha pertambangan emas hitam tersebut di masa mendatang.

Akan tetapi, Ketua Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo justru menilai positif perubahan tarif royalti ini. Singgih beralasan, tarif royalti yang berlaku saat ini bagi pengusaha tambang terbuka relatif kecil dibandingkan dengan pelaku lainnya seperti Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan IUPK.

Ia juga menyebut sebagian besar pasar batu bara saat ini masuk pada perdagangan dengan tingkatan kalori di antara 4.200 sampai 5.500. Artinya perdagangan batu bara saat ini lebih menguntungkan IUP dengan tarif royalti pada tingkatan kalori yang lebih kecil.

“Jadi dapat dikatakan menjadi tidak fair jika IUP dengan royalti tersebut dan PKP2B dengan royalti 13,5 persen harus berkompetisi pada pasar yang sama, baik di dalam negeri maupun ekspor,” kata Singgih.

Posting Komentar

0 Komentar