Wamenkumham Segera Buka Ruang Diskusi Spesifik Terkait RKUHP


Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej mengapresiasi semua bahan masukan dan akan mempertimbangkan untuk perubahan untuk RKUHP. Ia juga menjanjikan akan membuka ruang diskusi ke depan dengan topik yang lebih spesifik agar RKUHP segera diundangkan.

Hal itu dikatakan Omar dalam Seminar Mencermati Rancangan KUHP dalam Pembangunan Hukum Indonesia di Aula PGI, Salemba Raya, Jakarta, Kamis, (11/8/2022). Seminar ini diselenggarakan atas kerja sama PNPS, YKI, PGI, Pewarna dan UKI.

Omar bercerita bahwa RKUHP sebenarnya sudah diinisiasi sejak 1958. Namun, baru masuk legislasi DPR tahun 1963. Menurutnya, tidak ada satu pun negara di dunia mampu secara kilat menyusun KUHP baru negaranya.

“Belanda lepas dari jajahan Perancis, butuh 70 tahun untuk membuat KUHP meski masyarakat homogen. Berbeda dengan Indonesia, multi etnik, luas geografis dan 270 juta penduduk, maka tidak mudah membuat KUHP produk sendiri. Sebab kodevikasi harus membuat semua senang,” ujar Omar kepada wartawan, Kamis (11/8/2022).

Hadir sebagai narasumber dalam seminar itu Guru Besar Tata Negara UKI, John Pieris, Jamin Ginting, Mompang Panggabean. Sementara acara dimoderatori Ketua Pengurus Yayasan Komunikasi Indonesia, Bernard Nainggolan.

Wamen Omar melanjutkan, pemerintah perlu mencari win-win solusion atau midle way (jalan tengah). Menurutnya, harus ada titik temu dari keberagaman sosial, budaya, agama di Indonesia.

“Persoalan prosesnya sudah selesai dibahas 2014-2019. Kebetulan saya terlibat selama 8 tahun. Pada 19 Sep 2019 Pemerintah menarik RKUHP ini dari DPR, pertimbangannya karena perlu sosialisasi terlebih dulu ke masyarakat,  agar tidak menjadi masalah nanti. Sampai saat ini ada 6.000 masukan dari masyarakat,” kata Omar sembari menambahkan bahwa pemerintah telah melakukan sosialisasi di 12 provinsi

Menurutya, Pemerintah telah melakukan penyempurnaan sepanjang 2021-2022 dengan ada tujuh hal penting yang dibahas yakni terkait 14 isu krusial seperti sinkronisasi antara pasal, ancaman pidana (disparitas), melakukan harmonisasi di luar KUHP, teknik penyusunan UU, delik penadahan barang cetakan dan persoalan kesalahan typo.

Sementara Jamin Ginting yang juga Dosen Fakultas Hukum UPH melihat, RKUHP berdampak sangat terbuka. Setiap daerah akan menumbuhkan aturan-aturan hukum adat masing-masing. “Hukum pidana tidak tepat diambil dari kebiasaan masyarakat. Tidak bisa dasar hukum ada kehidupan masyarakat. Kalau hukum perdata saya setuju,” kritiknya.

Jamin mengatakan, penegak hukum banyak penafsiran seperti historis, interpretasi hakim. Menurutnya lebih baik beri kesempatan ruang kepada hakim untuk mengaturnya.

Ia menyarankan, agar membiarkan apa yang baik, yang sudah ada, dengan asas legalitas tetap diperhatikan. “Saya kuatir di seluruh Indonesia berlaku adat masing-masing dan akan terjadi persingguhan dan irisan teritorial yang bisa bertentangan,” ujarnya mengingatkan.

Hal lainnya di RKUHP, ia juga menyoroti terkait penodaan agama. Diakuinya, bahwa  kebanyakan negara mempunyai hukum penodaan agama. Yang perlu diperhatikan adalah penodaan yang dimaksud apa tata ibadah atau keyakinannya.

Sedangkan  terkait dengan  Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) sesuai UU TIPIKOR Pasal 2 dan 3 yang kemudian RKUHP Pasal 607 dan 608. Pidana korupsi sesuai UU Tipikor ancaman minimun 4 tahun, kemudian diperkecil 2 tahun.  “Kalau KUHP disahkan lalu apakah nanti kasus Tipikor akan dikenakan KUHP atau UU Tipikor. Sebab  KUHP ini mengurangi hukuman dan ini menjadi masalah sendiri.”

Sementara Mompang L. Panggabean mengatakan dalam membuat KUHP di seluruh dunia selalu ada empat alasan. Yakni politis, sosialis filosofis, praktis dan adatif. Kalau Belanda butuh 70 tahun, mungkin Indonesia lebih lama untuk membuat KUHP sendiri.

“Pak Wamen tadi sudah memaparkan banyak hal-hal ideal dimasukkan di RUU KUHP, kami setuju itu. Tetapi persoalannya bagaimana subtansi,  budaya, dan struktur hukumnya,” papar Guru Besar UKI tersebut.

Lebih lanjut, Mompang menyoroti dan memberi catatan dalam beberapa Pasal RKUHP. Pasal 207 terkait ternak, menurutnya hal itu delik pasif. Bagaimana dengan pelaku? Dengan ada frasa membiarkan atau dengan sengaja. Sementara Pasal 280, norma yang ada, apakah hukum dimaksud itu termasuk kepatutan dalam masyarakat.

Kedua, lanjut Mompang, terkait frasa tidak hormat kepada hakim. Apakah hakim itu menjadi Tuhan di pengadilan. Ia juga mempertanyakan kebebasan wartawan dalam meliput. Wartawan seribu akal untuk mencari celah. Kemudian Pasal 380, menggunakan kemampuan hewan di luar kodratnya.

“Di kampung kami, masih menggunakan hewan over, apakah petani nanti bisa dipidana. Padahal di sini bentuk yang disengaja,” kata ahli hukum pidana ini.

Selain itu, Mompang juga meyoroti Pasal 340 ayat 2, penggunaan bioteknologi dengan ancaman 2 tahun. Kalau kerugian besar bagaimana? Pasal 412, bagaimana kalau iklan diakses anak dari media sosial. Apa tidak lebih baik dikaitkan dengan UU ITE. Apakah melakukan  pendekatan cultural relativisme sementara Pasal 429, soal penggalandangan. Ini tidak efektif.

“Apa nggak lebih baik ini distop saja, lebih baik diserahkan ke kementerian sosial. Ada denda darimana, makan saja tidak bisa," katanya.

”Pasal 469, terkait aborsi tidak lebih 12 minggu dan juga terkait perkosaan. Pelaku perkosaan tidak dijelaskan siapa, biasanya laki-laki tapi aturan baru ini bisa juga perempuan. Ini tujuan pemidanaan dalam kaitan pedoman kepidanaan ," tambah Mopang.

Berbeda Guru Besar Hukum Tata Negara UKI John Pieres, mengungkapkan hukum positif kalau aktif berlaku maka perlu menggali hukum positif dalam masyarakat. “Apa yang disampaikan Pak Wamen saya setuju. Dasar dari hukum itu tekait dua hal, satu moralitas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Kemanusian yang beradab ini. Dua sila dari Pancasila,” tukasnya.

Ia menyinggung Pasal 4, kalau ada melecehkan Presiden itu munurunkan harkat dan martabat. Itu sesuai dengan teologis Kristen yang memiliki kewajiban menghormati pemerintah.

Pasal 27, menjunjung menghormati Tap MPR No. VI/MPR/2001 tata krama dalam politik.  Dari sumber yang dikutip, menjadi keharusan dari warga negara menjaga martabat presiden dan wakil presiden.

Terkait dengan konstruksi hukum Pidana dalam RKUHP  Pasal 217, menghina Presiden ancaman pidana penjara 5 tahun, John mengaku sependapat. Kemudian Pasal 218, menyerang kehormatan di depan umum dipidana 3 tahun 6 bulan. Demikian pada Pasal 219, setuju dan Pasal 220, bisa dituntut dengan delik aduan. “Tergantung presiden dan wapres, kalau Jokowi mungkin tidak menuntut tetapi berbeda dengan Presiden Trump yang cenderung reaktif,” bebernya


Posting Komentar

0 Komentar