Pemerintah optimis tahun 2023 akan tercapai konsolidasi fiskal yang sehat karena pergerakan ekonomi yang terus tumbuh. Beberapa sektor juga sudah mulai pulih, dan pertumbuhan ekonomi semakin positif dibandingkan 2 tahun lalu ketika awal pandemi.
"Kita melihat ada setitik harapan. 2020 kita terpuruk sekali, tahun 2021 ada pergerakan ekonomi mulai tumbuh, beberapa sektor mulai recover ekonomi juga sudah relatif lebih baik sedikit," kata Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal dalam Podcast Cermati DJP Kilas Balik 2022, Kamis (29/12).
Yon menuturkan kondisi ekonomi Indonesia lebih baik dari negara lain karena tidak mengalami masa resesi. Sehingga di tahun depan harapan untuk konsolidasi fiskal bisa tercapai.
"Kita melihat ada peluang bahwa kita harus mengejar kembali harapan untuk fiskal konsolidasi di tahun 2023," ungkapnya.
Yon bercerita, perjalanan perpajakan di tahun 2022 penuh dengan serangkaian lika-liku. Namun, seiring berjalannya waktu Direktorat Jenderal Pajak berhasil menjalankan tugasnya dalam mengumpulkan penerimaan negara.
Sangat penting baginya untuk melihat kilas balik perjalanan perpajakan tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2017, Kementerian Keuangan melalui DJP memulai reformasi perpajakan. Namun dalam prosesnya, di tahun 2020 dihadapkan dengan pandemi covid-19.
"Perjalanan kemudian membawa kita ke tahun 2020 di mana pandemi muncul kemudian bagaimanapun proses reformasi ini tetap berjalan walaupun tentu agak tersendat," kata Yon.
Tahun 2020 memberikan pelajaran baru bagi Kementerian Keuangan, khususnya DJP. Kala itu DJP selaku instansi pengumpul penerimaan pajak tidak semata-mata diminta memenuhi pajak saja, melainkan juga diminta masyarakat untuk memberikan insentif perpajakan. Dua hal ini menurutnya saling bertentangan namun tetap harus dijalankan.
Alhasil, mau tidak mau reformasi perpajakan harus tetap dijalankan. Selain itu, DJP juga harus bisa menjalan dua tugas yakni, tetap mengumpulkan penerimaan pajak dan memberikan insentif.
Jika penerimaan pajak dihentikan, maka Pemerintah akan kesulitan dalam menangani dampak pandemi. Mengingat pemerintah membutuhkan dana yang cukup besar untuk rumah sakit, vaksin, dan sebagainya.
"Tahun 2020 kita kena pandemi DJP ngumpulin penerimaan itu harus, karena kita harus membiayai pengeluaran yang jumlahnya makin besar. Kita tidak pernah mengalokasikan biaya vaksin, biaya rumah sakit semuanya," ujarnya.
Hingga pada akhirnya terbitlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020. Regulasi ini mengizinkan pemerintah untuk melakukan penganggaran dan pembiayaan defisit melampaui 3 persen.
Aturan tersebut dirancang untuk situasi pandemi dan akan berlaku selama 3 tahun yang mulai dari tahun anggaran 2020 hingga 2022. Tahun 2023 nanti, defisit akan kembali normal menjadi paling tinggi sebesar 3 persen dengan penyesuaian bertahap.
0 Komentar