Jokowi Bernyali Besar, Jaga Kekayaan RI Agar Tak Dirampas Asing!!!


Bagaikan Macan garang, begitulah julukan yang pantas untuk Presiden Joko Widodo (Jokowi), kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya belakangan ini membuat asing makin ketar ketir. Namun kita harus ketahui, semua yang dilakukannya adalah semata-mata untuk menjaga kekayaan Indonesia. 

Baru-baru ini Jokowi resmi merevisi aturan tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2019. Hal itu disebabkan karena berbulan-bulan dilanda kekeringan dolar AS, makanya pemerintah mengambil langkah tegas. 

Perubahan ini dimaksudkan dalam rangka meningkatkan cadangan devisa negara karena selama ini hasil ekspor Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang positif.

Bayangkan, Indonesia berhasil mencatatkan surplus neraca perdagangan selama 31 bulan beruntun, namun fakta ini tidak lantas membuat cadangan devisa (cadev) menguat.

Surplus selama 31 bulan beruntun membuat nilai ekspor Indonesia menyentuh US$ 609,1 miliar atau lebih dari Rp 9.500 triliun. Sayangnya, posisi cadangan devisa (cadev) justru tidak bergerak jauh di kisaran US$ 130-140 miliar pada rentang 31 bulan tersebut.

Posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Desember 2022 mencapai US$ 137,2 miliar, jauh lebih kecil dibandingkan Thailand (US$ 201,9 miliar per Oktober 2022), Singapura (US$ 282,2 miliar), India (US$ 534,02 miliar), serta Korea Selaran (US$ 414 miliar).

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan bahwa kebijakan revisi ini diambil karena dirinya ingin eksportir menaruh devisa hasil ekspor (DHE) di dalam negeri dalam kurun waktu tertentu. Dengan pundi-pundi dolar ini, maka kondisi eksternal Indonesia semakin kuat jika harus menghadapi guncangan ke depannya.

Hal tersebut disampaikan oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto sesuai arahan Presiden Jokowi dalam rapat kabinet terbatas di Istana Kepresidenan, Rabu (11/1/2023).

"Melalui PP 1 kita akan atur supaya devisa itu masuk dulu sehingga akan memperkuat devisa kita," tegas Airlangga.

Selama ini, eksportir banyak menyimpan dolar hasil ekspornya di luar negeri. Hal ini membuat Indonesia kekeringan likuiditas dolar. Akhirnya posisi nilai tukar menjadi goyah. Revisi PP No.1 Tahun 2019 ini memicu banyak pertanyaan. Apakah Indonesia akan memulai rezim kontrol devisa?

Deputi Ekonomi Makro & Keuangan Kemenko Perekonomian, Iskandar Simorangkir menegaskan revisi aturan ini bukan bentuk kontrol devisa. Menurutnya, Indonesia masih menjunjung aturan devisa bebas. Selain itu, revisi PP Nomor 1 Tahun 2019 sejalan dengan aturan di dalam UU PPSK.

"Sebenarnya momentumnya bagus. Memang dalam UU lalu lintas devisa itu dikatakan wajib menggunakan devisa bebas. Kemudian untuk sda wajib ditempatkan di sistem keuangan Indonesia karena merupakan hasil bumi Indonesia maka itu wajib. Tapi di UU PPSK yang sudah disetujui ada pengaturan," tegasnya.

Dalam UU PPSK, Bank Indonesia (BI) mempunyai kewenangan untuk melakukan penerimaan dan pengaturan devisa hasil ekspor (DHE).

"Jadi ini dasar hukumnya sekarang kuat, dulukan pp itu karena dasarnya memberikan kebebasan lalu lintas devisa, masih devisa bebas maka dasar hukumnya gak kuat, maka itu yang diatur hanya SDA," kata Iskandar.

Dia menjamin dengan kepastian hukum ini ketahanan ekonomi, serta stabilitas makroekonomi terjamin. Pengusaha nantinya akan memiliki kepastian nilai tukar. Mereka bisa merencanakan investasinya di Indonesia tanpa diganggu oleh fluktuasi nilai tukar.

"Oleh karena itu, sebenarnya ini bukan kontrol devisa tetapi dalam rangka melihat konteks makroekonomi keseluruhan. Jadi gak bertentangan dengan UU lalu lintas devisa," tegasnya.

Di sisi lain, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia (BCA) Tbk David Sumual mengungkapkan keputusan ini merupakan langkah maju dalam pengelolaan DHE. "Artinya ini satu langkah lebih baik, sehingga nanti bisa menambah likuiditas valas di dalam negeri," ujar David, Rabu (11/1/2023).

David menekan, dampak positif dari revisi aturan itu, sehingga bakal adanya aturan terkait rentang waktu lamanya eksportir harus memarkirkan dolar nya di tanah air, maupun perluasan sektor industri yang tidak hanya industri ekstraktif, tentu akan menambah pundi-pundi dolar di Tanah Air.

"Ujung-ujungnya kan likuiditas kita harapkan tambah meningkat, sehingga suku bunga dana juga menurun dan ini sangat baik untuk sektor riil," tutur David.

"Selama ini untuk pinjaman valas kita, juga kredit valas meningkat cukup tinggi akhir-akhir ini, nah ini kebutuhan valas yang besar ini juga akan mempengaruhi kurs nya pada akhirnya," ucapnya.

Kendati begitu, David mengingatkan, rencana pengaturan ini juga harus diiringi dengan peningkatan instrumen finansialnya, khususnya dalam bentuk valas, supaya devisa yang parkir bisa memberi nilai tambah lebih bagi perekonomian dalam negeri.

Sebelumnya, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno mengungkapkan minimnya instrumen dolar AS di dalam negeri, membuat eksportir enggan membawa DHE pulang ke Indonesia dan memilih menyimpannya di luar negeri.

"Ini karena pasarnya kita masih kurang mendukung untuk berkembangnya instrumen-instrumen US Dolar itu, jadi eksportir ya tetap larinya ke luar walaupun masuknya sih ke sini mungkin satu dua hari, diam, tapi kalau belum dipakai ya keluar lagi," ujarnya.

Benny menilai, kelangkaan instrumen Dolar AS di pasar keuangan Indonesia terjadi karena kondisi pasar yang sangat sempit sehingga menyulitkan perputaran dolar, akibatnya hal ini berimbas pada sedikitnya persediaan dolar di pasar keuangan.

Posting Komentar

0 Komentar