Perppu Cipta Kerja yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada 30 Desember 2022 lalu merupakan bentuk keberpihakan pemerintah termasuk pekerja dan pelaku UMKM. Untuk itu, Kantor Staf Presiden (KSP) membantah perihal Perppu tersebut mewakili sepihak, yaitu pengusaha.
Tenaga Ahli Utama KSP Fadjar Dwi Wisnuwardhani menegaskan, penerbitan Perppu Cipta Kerja adalah upaya untuk menyinkronkan aturan regulasi yang sudah ada. Perppu ini juga menyederhanakan proses birokrasi agar dapat mendorong penciptaan perluasan kesempatan kerja dan juga perekonomian secara keseluruhan.
"Kami menilai tujuan itu bukan hanya mewakili satu elemen, melainkan juga berdiri di atas kepentingan pekerja, pelaku UMKM, dan sebagainya," ujar Fadjar Dwi Wisnuwardhani dalam keterangan tertulisnya, Jumat (6/1/2023).
Menurut Fadjar, Perppu Ciptaker mengakomodasi penyerapan aspirasi masyarakat dan memberikan penjelasan atau informasi ke publik untuk menghindari mispersepsi. Dirinya mencontohkan, bagaimana pihak pengusaha mengeluhkan upah minimum dalam PP No 78 tahun 2015 yang dianggap terlalu tinggi. Di satu sisi, pekerja mengeluhkan upah minimum yang dianggap rendah dalam aturan PP No 36 tahun 2021.
"Formula upah minimum dalam Perppu Cipta Kerja menjadi bukti bahwa pemerintah memiliki keinginan untuk memoderasi, mendengarkan aspirasi dari masyarakat serta untuk berdiri di atas semua pihak dan kepentingan," kata Fadjar.
Dalam hal ini, Presiden Joko Widodo selalu melihat pada kepentingan negara, kesejahteraan masyarakat, dan kelangsungan usaha. Upaya Presiden Jokowi dalam mengedepankan investasi pun bertujuan untuk menjaga keberlangsungan negara.
KSP pun berpendapat bahwa persepsi tentang keberpihakan memang akan selalu muncul, baik dari sisi pengusaha maupun pekerja. Hal ini pun tidak hanya terjadi pada Perppu Cipta Kerja, tapi juga terjadi pada kebijakan-kebijakan pemerintah yang lainnya.
Sementara itu, Fadjar meluruskan mispersepsi Perppu Cipta Kerja yang mengatur libur kerja satu hari dalam sepekan yang berkembang di publik.
"Perlu saya luruskan, pengaturan mengenai durasi hari kerja tidak mengalami perubahan. Hal ini tertuang dalam Perpu Cipta Kerja Pasal 77 Ayat 2 bagian Ketenagakerjaan di mana telah ditentukan bahwa waktu kerja adalah 7 jam sehari berlaku untuk 6 hari kerja dalam seminggu atau 8 jam sehari untuk 5 hari kerja dalam seminggu. Di luar waktu yang disepakati itu tentu dihitung sebagai overtime, tidak bisa bersifat sukarela pekerja," jelas dia.
0 Komentar