Pergerakan harga minyak akan selalu menjadi perhatian pemerintah. Harganya yang cenderung tidak stabil, dinilai karena komoditas ini selalu berada dalam pusaran geopolitik.
Inflasi Amerika Serikat yang mulai mendingin menjadi booster bagi harga minyak mentah dunia menguat selama sepekan perdagangan kemarin.
Pada perdagangan akhir pekan Jumat (13/1/2022) harga minyak mentah Brent tercatat US$ 85,28 per barel, naik 1,48% dibandingkan hari sebelumnya. Sedangkan jenis light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) menguat 1,87% menjadi US$79,86 per barel.
Sementara dalam sepekan harga minyak jenis Brent naik 8,54% secara point-to-point (ptp) dibanding posisi penutupan pekan lalu ke US$ 78,57 per barel. Sedangkan untuk minyak kontrak jenis light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) naik 8,26% ke US$ 79,86 per barel pekan ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, sepanjang 2022 harga minyak mentah dunia mengalami gejolak yang luar biasa.
Pada pertengahan tahun 2022, harga minyak mentah dunia melonjak tinggi hingga menyentuh harga US$ 126 per barel untuk jenis Brent. Kemudian mengalami penurunan seiring banyak berita pelemahan ekonomi.
"Desember terakhir (harga minyak mentah) pada posisi US$ 83, agak meningkat karena harga komoditas minyak ada di dalam inti pergerakan geopolitik," jelas Sri Mulyani dalam konferensi APBN Kita pada 3 Januari 2022, dikutip Selasa (16/1/2023).
Adanya langkah Presiden Rusia Vladimir Putin untuk tidak menjual menjual minyak mentah kepada negara-negara yang mengikuti price cap, juga menjadi kontribusi pada pergerakan harga minyak mentah dunia.
Seperti diketahui, sejumlah negara Barat menerapkan sanksi pembatasan harga minyak mentah Rusia maksimal US$60/barel mulai 5 Desember 2022.
Pembatasan harga berlaku untuk negara-negara yang ingin membeli minyak mentah Rusia menggunakan jasa pengiriman dan asuransi perusahaan asal negara Barat.
Sanksi tersebut diterapkan oleh kelompok negara G7, yakni Amerika Serikat, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, dan Prancis, ditambah Australia dan 27 negara anggota Uni Eropa.
"Ini yang menyebabkan komoditas seperti minyak jadi salah satu yang akan bergejolak karena ada di dalam pusaran geopolitik," kata Sri Mulyani lagi.
0 Komentar