Terkuak!!! Kebijakan Jokowi Soal DHE Bikin RI Tak Gampang Digoyang Asing!!!



Kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mewajibkan Devisa Hasil Ekspor (DHE) parkir di dalam negeri dalam kurun waktu lebih lama akan berdampak positif terhadap perekonomian. Dengan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2019 tentang DHE, maka eksportir tidak bisa semena-mena membawa kabur dolar untuk disimpan di bank luar negeri.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Perekononomian Airlangga Hartarto menuturkan bahwa pengaturan ulang terkait dengan DHE akan memperkuat ekonomi Indonesia, sekaligus menjaga stabilitas rupiah.

"Nah, karena kalau devisanya parkir di negara sendiri kayak Thailand itu mewajibkan 3 bulan, nah itu kan bisa memperkuat cadangan devisa kita, dan akan memperkuat kurs rupiah," jelas Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto kepada CNBC Indonesia, Rabu (11/1/2023).

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2019 tentang DHE, hanya sektor pertambangan, perkebunan dan kehutanan dan perikanan yang wajib memasukkan DHE ke dalam negeri. Nantinya, dalam revisi PP, pemerintah akan mengatur sektor lainnya.

"Ini kita masukkan juga beberapa sektor, termasuk manufaktur dengan demikian kita lakukan revisi, sehingga peningkatan ekspor dan surplus neraca perdagangan sejalan dengan peningkatan devisa," jelas Airlangga.

Menurut Airlangga, pemerintah akkan memberlakukan hal yang serupa seperti yang dilakukan oleh beberapa negara lain, yaitu India dan Thailand.

"India, Thailand mengatur 6 bulan harus parkir, beberapa negara mengatur 1 tahun harus parkir. Indonesia sebagai negara penganut devisa bebas (sebelumnya) tidak mengatur, bahkan BI mencatat. Kalau mencatat dan mengatur berbeda," sambungnya.

Dengan demikian, ketahanan eksternal Indonesia semakin kuat. Artinya, daya tahan ekonomi terhadap guncangan global dapat diredam dengan cadangan devisa yang kokoh.

Seperti dipahami, surplus neraca perdagangan RI selama 31 bulan beruntun tidak lantas membuat cadangan devisa Indonesia menguat karena eksportir masih banyak melarikan (DHE) ke luar negeri.

Ini pada akhirnya membuat Indonesia tidak memiliki bantalan devisa yang besar ketika terjadi goncangan ekonomi global.

"Jadi kalau kita belajar dari negara lain mereka punya bantalan devisa besar ketika terjadi global ekonomi shock, maka dari itu kita harus tata kembali (aturan DHE) melalui PP 1/2019," ujar Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Iskandar Simorangkir, dikutip Senin (16/1/2023).

Padahal, menurut Iskandar angka surplus Indonesia yang cukup besar di tahun 2022. Hal ini ditopang oleh adanya ledakan komoditas seharusnya mampu menaikkan jumlah cadev Indonesia. Sayangnya, kondisi itu justru berbalik. Cadev Indonesia malah turun cukup signifikan pada tahun 2022.

"Tahun 2020 kita surplus keseluruhan US$ 21,62 miliar, 2021 surplus US$ 35,34 miliar, sementara Januari sampai dengan November tahun ini surplus US$ 50,59 miliar," terangnya.

"Kita bandingkan dengan cadev kita setelah mencapai puncak tertinggi di September 2021 dgn cadangan devisa US$ 146,9 miliar itu terus konsisten menurun sehingga mencapai titik terendahnya di Oktober 2022 sebesar US$ 130,2 miliar, baru di bulan terakhir memang terjadi peningkatan US$ 134 miliar di bulan November dan di Desember sebesar US$ 137,2 miliar," lanjutnya.

Guna mempersiapkan cadangan devisa yang cukup, maka pemerintah belajar dari negara lain dalam mengatur DHE, diantaranya Thailand dan Malaysia. Kedua negara ini memberlakukan aturan wajib penyimpanan DHE di dalam negeri dalam jangka waktu tertentu sehingga negara memiliki cadangan devisa yang kuat.

Di Thailand, 30% DHE wajib dikonversi ke dalam bank dalam negeri dan ditahan paling cepat 1 tahun.

"Jadi berarti otoritas moneter mendapatkan devisanya, yang dijual kepada otoritas moneternya kemudian ditahan selama 1 tahun. Dalam hal kurang dari 1 tahun, 30% itu jadi jaminan deposit dia hanya dapat 2/3 dari 30% tadi," ungkapnya.

Sementara itu, PP Nomor 1 Tahun 2019 hanya mewajibkan eksportir di sektor sumber daya alam untuk melaporkan dan memasukkan DHE mereka ke rekening khusus di bank persepsi dan melaporkannya ke BI.

Jika dalam kurun waktu tiga bulan setelah ekspor DHE belum masuk maka BI akan menghubungi eksportir untuk melakukan pelunasan. Namun ketika bulan ketujuh belum ada pelaporan maka BI akan meminta Direktorat Jenderal Bea Cukai untuk menerbitkan surat tagihan. Dengan kewajiban pelaporan ini, eksportir tidak lantas menaruh DHE di dalam bank dalam negeri dalam periode tertentu atau mengkonversinya dari dolar AS ke rupiah.

Untuk itu, lanjut Iskandar saat ini pemerintah tengah mengkaji ulang PP No. 1 Tahun 2019 tersebut dalam rangka mengatur lalu lintas DHE dan mendorong DHE agar diparkirkan para eksportir di dalam negeri.

"Jadi memang bentuknya apa terus dikaji bentuk paling optimal untuk Indonesia, apakah akan ditambah sektornya kayak kata Pak Airlangga, atau kayak Thailand, Malaysia itu 75% wajib dikonversi ke dalam ringgit, Turki 80% wajib dikonversi ke lira. Masih dikaji terus," tegasnya.

Posting Komentar

0 Komentar