Banyak yang sudah mengulas reformasi birokrasi di sistem pemerintahan. Tak sedikit yang menyebut perbaikan birokrasi itu hanya sebatas omong kosong. Alih-alih membantu dan melayani, reformasi itu justru sering mempersulit masyarakat untuk menerima pelayanan.
Permasalahan
klasik seperti itu sering ditemukan dan sudah menjadi rahasia umum. Namun, dari
sekian daerah yang menyatakan memperbaiki pelayanan publik, saya tertarik dengan
Jawa Tengah. Provinsi di tengah Pulau Jawa ni menarik karena punya tagline
mboten ngapusi, mboten korupsi yang berarti tidak membohongi, dan tidak
korupsi.
Provinsi
ini juga telah mencatatkan sebagai penerima penghargaan predikat A reformasi
birokrasi lima kali berturut-turut. KPK pun telah menyatakan bahwa Jawa Tengah
di bawah kepemimpinan Ganjar Pranowo menjadi provinsi paling berintegritas dan
juara umum antikorupsi tingkat nasional.
Kemungkinan,
daerah yang dipimpin Ganjar ini adalah pionir menghapus dosa besar birokrasi
yang pernah ada sepanjang sejarah. Sejak 2013 hingga sekarang, sudah berapa
banyak peristiwa yang bisa menjadi penanda perbaikan birokrasi di Jawa Tengah?
Ada
beberapa kasus yang mencuat ke permukaan publik. Misalnya, inspeksi mendadak
sang pucuk pimpinan Jawa Tengah ke Jembatan Timbang Subah, Batang. Dari sana,
kita kemudian melihat perombakan besar-besaran di dunia perhubungan Tanah Air.
Tak ada lagi praktik-praktik pungutan liar. Aturan berjalan semestinya, yang
melanggar diberi ketegasan denda.
Saat
itu Ganjar masih seumur jagung memegang kendali Jawa Tengah, tetapi pengaruhnya
begitu amazing. Apalagi ketika melihat peristiwa-peristiwa berikutnya turut
ditindak. Samsat, sistem administrasi manunggal satu atap ini menjadi target selanjutnya
Ganjar Pranowo. Oknum petugas Samsat Magelang dari unsur kepolisian ketangkap
basah melakukan praktik pungli. Bukan main, sejak saat itu, kita tahu bersama
bahwa Samsat menjadi lebih tertib.
Barangkali
Ganjar sadar, sebenarnya citra negatif birokrat yang gampang disuap masih kuat
melekat dalam benak publik. Sepertinya juga begini, prosedur yang
berbelit-belit adalah titik awal benih perilaku koruptif menjadi subur dan
berkembang.
Namun,
jika kita melihat pelayanan yang ada di Jawa Tengah sekarang ini, kelihatannya
memang benar Ganjar tak mau melihat warganya harus merogoh kocek dalam-dalam
hanya untuk mendapatkan prioritas pelayanan. Kini, nyaris tak ada lagi ketika
hendak mau urus itu, mau urus izin ini cepat kelar tanpa harus keluar uang
pelicin.
Mungkin
sejak saat itu para pelayan publik yang rata-rata aparatur sipil negara (ASN)
itu sedikit sempoyongan mengikuti alur pemimpin barunya. Mulanya hanya
duduk-duduk saja lalu mendapat ceperan, kini mereka dituntut belajar bagaimana
caranya menjadi pelayan masyarakat yang cepat, mudah, dan murah.
Ganjar
sepertinya bukan pemimpin yang bersifat kaku. Di eranya, ketika ada yang
melanggar pasti menerima sanksi. Termasuk juga, yang berkinerja baik tentu
mendapat apresiasi. Misalnya, tambahan penghasilan pegawai sesuai golongan dan
pangkat. Sepertinya, apresiasi inilah termasuk faktor yang menghilangkan
praktik-praktik koruptif tersebut. Barangkali inilah cara Ganjar mengajak lari
pegawai negeri untuk tidak terjebak zona nyaman.
Kita
lihat, setelah Ganjar menjadi pelopor menggunakan media sosial misalnya, kini
seluruh organisasi perangkat daerah sudah punya akun terverifikasi. Dari sana,
banyak aduan masyarakat yang tak menunggu waktu lama bisa dibereskan. Belum
lagi dengan adanya ruang aduan LaporGub yang kini cukup diakses lewat genggaman
tangan.
Sejalan
dengan kebijakan itu, agaknya Ganjar ingin menekankan bahwa pelayanan publik
tidak ada intervensi yang timbul ketika ASN dan masyarakat saling
bersinggungan. Mboten ngapusi, dan mboten korupsi inilah yang berjalannya waktu
membuat birokrasi menjadi bersih dan mampu melayani publik dengan
sebaik-baiknya.
Ditarik
lebih jauh lagi, kalau membaca gaya kepemimpinan Ganjar, dia tidak duduk di
kursi kekuasaannya, melainkan mengurusi masalah rakyat yang segera diselesaikan.
Boleh kan mengartikan kalau Ganjar ini milik rakyat? Rakyat yang memang punya
banyak masalah, dan kemana rakyat datang itu penyelesaian terakhir adalah ada
pada dirinya sebagai orang nomor satu di Jawa Tengah.
Kita
sebagai warga negara pasti punya harapan ingin memiliki sosok pemimpin yang
mampu menyelesaikan masalah. Kalau sudah begitu, Ganjar masuk kategori pemimpin
yang mau mendengar persoalan rakyat, mau mengeksekusi tanpa harus terjebak pada
sistem birokrasi.
Bisa
dikatakan, Ganjar tidak menggunakan birokrasi untuk alasan menolak, tidak
menggunakan peraturan untuk alasan mengatakan tidak. Begitu juga sebagai
pemimpin yang berdamai dengan rakyat, dan membawa cinta bukan senjata.
Oh
iya, saya baru tahu kalau reformasi birokrasi masuk ke dalam prioritas kerja
Presiden Jokowi di periode keduanya. Dengan riwayat tersebut agaknya menjadi
landasan Ganjar untuk melanjutkan upaya reformasi birokrasi di Indonesia.
0 Komentar