Malam kemarin, menjadi malam indah bagi semua orang, terutama umat beragama Budha. Pasca Covid-19 yang sebelumnya menyerang seluruh umat dibelahan dunia, hingga menyebabkan terhenti serta terbatasnya aktivitas mahkluk yang menghuni didalamnya (bumi), terutama ibadah.
Masih terekam dengan jelas,
bagaimana pribadi ini merasakan sulitnya menunaikan ibadah secara berjama’ah.
Kala itu, kota ku layaknya kota mati tak berpenghuni. Semua orang masuk dan
bersembunyi dibalik pintu rumah demi menyelamatkan nyawa masing-masing.
Tempat-tempat ibadah terasa
sunyi senyap. Hanya lantunan adzan yang bisa memecah keheningan kota. Biasanya,
tempat ibadah umat beragama muslim itu terlihat penuh sebelum Covid melanda
negeri ini.
Namun setelah Covid berhasil
meluluhlantakkan dunia, tempat ibadah tersebut benar-benar sepi, hanya beberapa
orang saja yang tetap menunaikan ibadahnya meski harus berjarak demi menaati
protokol kesehatan.
Seperti itulah gambaran tempat ibadah
kala Covid melanda negeri. Barangkali tak hanya masjid saja yang merasakan hal
serupa, mungkin semua tempat ibadah juga demikian.
Misalnya saja seperti umat
beragama Budha, yang baru saja melaksanakan rangkaian upacara perayaan Waisak
2567 BE. Mungkin masyarakat di Indonesia pun sudah tahu bagaimana perjuangan
umat pemeluk agama Budha ini dalam menggelar hari rayanya.
32 biksu Thailand telah
menempuh jarak sejauh 2.600 kilometer. Bermodal kekuatan kaki, mereka
bersama-sama menyusuri panjangnya jalanan. Para biksu berjalan beriringan,
wajah mereka tampak tulus nan ikhlas kala menempuh ribuan kilo aspal panas,
yang tentunya akan meninggalkan bekas luka pada telapak kaki masing-masing.
Namun sejatinya usaha tak akan
menghianati hasil. Derasnya keringat yang bercucuran, perihnya telapak kaki
akibat tergesek aspal, sengatan panas serta dinginnya guyuran hujan, akhirnya
terbayar sudah. Tibalah para biksu di Candi Borobudhur, kedatangan mereka pun
berhasil menyita atensi masyarakat sekitar.
Keramah-tamahan warga saat
menyambut kedatangan para biksu nampak tumpah ruah. Perasaan bangga, senang,
bahagia pun bercampur menjadi satu. Mungkin perasaan demikian juga tengah
dirasakan oleh para biksu, lantaran berhasil mengarungi jarak ribuan kilometer
dengan tubuh yang tetap bugar. Semua itu dilakukan para biksu demi merayakan
hari raya Waisak, setelah dua tahun sempat terhenti lantaran virus mematikan
yang melanda dunia.
Puncak perayaan hari besar
Waisak jatuh pada hari Minggu lalu. Sontak, kegiatan itu turut mengundang
perhatian dari publik. Banyak masyarakat diluar daerah pun juga ikut meramaikan
perayaan ke candi peninggalan Wangsa Syailendra itu.
Terlebih, acara tersebut juga
dihadiri oleh pejabat-pejabat pemerintahan. Seperti Ganjar Pranowo sebagai
Kepala Daerah Provinsi Jateng, kemudian terlihat juga Menteri Agama Yaqut
Cholil, Menteri BUMN Erick Thohir serta Menteri Parekraf Sandiaga Uno.
Kehadiran mereka ditengah-tengah geliat kehidupan warganya semakin menambah
semarak perayaan Waisak.
Dalam menghadiri agenda meriah
tersebut, ada cerita perjuangan dari seorang Ganjar. Kala itu, karena sangking
padatnya jalanan, mengharuskannya berjalan kaki untuk sampai ke lokasi dengan
jarak berkisar satu kilometer.
Biarpun diharuskan untuk
menerjang ombak sekalipun demi tuannya (rakyat), akan tetap ia lakukan. Karena
sejatinya Ganjar, sosok yang selalu mengupayakan kepentingan warganya, terlebih
dalam hal menghargai perbedaan.
Tak perlu dipungkiri lagi, jika
sosok Ganjar sedari dulu memanglah seorang pemimpin yang mampu menjaga,
menghormati, merangkul serta menghargai perbedaan yang ada.
Sebab dari toleransi itulah,
kita bersama-sama saling berkomitmen dalam merawat NKRI serta mengamalkan
nilai-nilai Pancasila di era gempuran perubahan dunia yang sangatlah cepat.
Begitu pula dengan seorang Ganjar, meskipun ia seorang muslim, namun dirinya
tak akan pernah menutup mata untuk tetap menghormati agama orang lain.
Mengulik perihal toleransi,
pikiranku pun dibuat melayang untuk sekedar flashback pada momen dimana Ganjar
tengah berada di kota yang mayoritas dihuni oleh penduduk pemeluk agama
Nasrani.
Berkat toleransi Ganjar yang
tinggi, membuat masyarakat Manado merasa nyaman akan kehadiran Ganjar. Bahkan,
kedatangan Ganjar disela-sela hari libur mereka pun juga disambut hangat oleh
masyarakat sekitar.
Tak hanya itu, belum lama ini
Ganjar juga terlihat telah meresmikan Rumah Pembaharuan Kebangsaan (RPK). Dari
sekian banyak provinsi di Indonesia, hanya Jateng yang pertama kali memiliki
rumah seperti ini.
Dibangunnya Rumah Pembaharuan
Kebangsaan, sebagai komitmen bersama etnis se-Indonesia agar bisa saling
menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Selain itu, Ganjar pun juga
kembali mengingatkan supaya RPK ini tak hanya dijadikan sebagai wadah pemersatu
semata, melainkan juga dapat dipergunakan sebagai simbol perdamaian antar suku,
agamar, ras serta golongan.
Bagi seorang Ganjar,
keberagaman itu sudah menjadi Sunnatullah. Kebhinnekaan di Tanah Air telah
termaktub pada lauhul makhfudz. Sehingga, setiap warga negara yang baik harus
menjunjung semangat toleransi dalam benak masing-masing.
Dan setibanya dilokasi, Ganjar
pun langsung diminta untuk menanggalkan tanda tangannya pada secarik kertas
yang awalnya telah diteken oleh 3 Menteri yang menghadiri perhelatan itu.
Muatan isi didalam kertas tersebut, berisikan dokumen mimpi besar mengenai
kawasan Candi Borobudhur supaya bisa menjadi tempat pariwisata kelas dunia,
hingga tempat ibadah teruntuk pemeluk agama Buddha seluruh dunia.
Mengetahui hal tersebut, sudah
pasti mengundang gejolak direlung hati. Cita-cita warga Indonesia terutama
warga sekitar candi pun akhirnya bisa tersenyum lebar lantaran candi di
Indonesia akan Go International.
Kehangatan malam itu semakin
terasa, ketika menjelang pelepasan lampion. Dalam kepercayaan umat beragama
Waisak, pelempasan lampion dilakukan sebagai tujuan untuk menghilangkan hal-hal
negatif dalam diri manusia, adapun sebagai usaha agar terwujudnya impian serta
harapan dari setiap umatnya.
Pun dengan Ganjar beserta para
Menteri, mereka ikut serta dalam menerbangkan lampion. “Semoga rakyat Indonesia
sejahtera selalu,” begitulah goresan huruf yang terukir didalam lampion yang
diterbangkan oleh Ganjar dan kawan-kawan.
Setelah dilepasnya ribuan
lampion, terlihat langit diangkasa berkilau lantaran siratan cahaya dari
lampion yang saling berterbangan di udara. Malam itu, langit di kota Magelang
nampak cantik nan mempesona. Jika disaksikan dari bawah, lampion-lampion
tersebut tampak seperti bintang-bintang kecil yang menyebar seantero negeri.
Indahnya toleransi, semua suka
cita tumplek blek menjadi satu. Begitu pula dengan Ganjar beserta masyarakat
Indonesia yang selalu menghormati perbedaan. Karena sejatinya perbedaanlah,
yang membuat kita termotivasi dan memiliki jiwa semangat untuk terus bersatu
dalam suka maupun duka.
Harapannya, semoga
agenda-agenda positif semacam ini bisa mendatangkan kemaslahatan bagi semua
umat manusia.
0 Komentar