Pemerintah lewat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kian gencar menutup celah para penghindar pajak. Instrumen pencegahan diperkuat lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022.
Beleid tersebut mengatur tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan. PP No.55/2022 merupakan aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Menteri Keuangan punya wewenang yang kuat untuk mencegah praktik penghindaran pajak. Ada delapan instrumen yang telah disiapkan, sebagaimana yang tertuang dalam Bab VII Pasal 32 di PP No.55/2022.
Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji menyoroti instrumen penghindaran pajak dalam PP ini pada dasarnya merupakan wujud pendelegasian dari UU HPP. Pengaturan itu memperlihatkan babak baru gencarnya upaya mencegah praktik penghindaran pajak, khususnya yang berkaitan dengan base erosion and profit shifting (BEPS).
"Hal ini terlihat dari instrumen anti penghindaran pajak yang kian beragam, kuat, dan lebih detail. Adanya babak baru inirelevan dengan masih tingginya risiko revenue forgone yang ditimbulkan oleh penghindaran pajak," ujar Bawono saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (4/1).
Bawono membeberkan, instrumen anti penghindaran pajak dalam PP No.55/2022 dapat dikategorikan menjadi tiga jenis. Pertama, yang bersifat penegasan dan menciptakan kepastian hukum karena sebelumnya diatur dalam produk hukum di bawah PP. Seperti Controlled Foreign Company (CFC) rules dan ketentuan atas pengalihan saham melalui conduit company.
Kedua, membuka ruang modifikasi aturan. Sebagai contoh, ketentuan atas pembatasan biaya bunga yang di kemudian hari bisa dilakukan dengan metode selain debt to equity ratio.
Ketiga, instrumen yang baru diperkenalkan. Misalnya, pengaturan atas skema hybrid mismatch, pembandingan kinerja keuangan bagi wajib pajak yang rugi fiskal selama tiga tahun berturut-turut, serta prinsip substance over form.
Dampak ke Pasar Modal
Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal Universitas Indonesia Budi Frensidy menambahkan, instrumen ini akan semakin memperketat pengawasan terhadap korporasi yang punya anak perusahaan atau afiliasi di luar negeri untuk melakukan transfer pricing.
Dari sisi investor, aturan ini cukup positif untuk mempersulit aksi korporasi yang dapat mengorbankan pemegang saham publik. "Investor publik atau minoritas juga diuntungkan jika aksi korporasi yang merugikan perusahaan tapi menguntungkan pemegang saham pengendali sulit dilakukan lagi," ujar Budi.
Di sisi lain, untuk emiten yang tidak melakukan transfer pricing, aturan ini dipandang tidak banyak memberikan pengaruh. Research Analyst Infovesta Kapital Advisori, Arjun Ajwani, mengamini bahwa aturan ini tidak akan berdampak langsung terhadap operasional bisnis perusahaan.
Meski begitu, penguatan instrumen pencegahan penghindaran pajak bisa semakin menyehatkan pasar modal. Sebab, dengan pengawasan yang semakin ketat, implementasi Good corporate governance (GCG) emiten bakal semakin kuat.
"Sebenarnya katalis yang positif karena aturan seperti ini sudah berlaku di pasar yang maju. Pengaturan ini menjadi tanda regulasi pasar di Indonesia makin berkembang dan ketat seperti aturan luar negeri," ujar Arjun.
Direktur Eksekutif Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) Samsul Hidayat juga sepakat, instrumen ini tidak memberikan dampak signifikan bagi emiten. Sebab, pemenuhan aspek GCG termasuk pemenuhan kewajiban perpajakan menjadi syarat penting yang harus dipenuhi.
"Perusahaan publik mestinya tidak akan terlalu khawatir dengan hal ini. Karena emiten merupakan entity hukum yang sudah terbuka dalam laporan keuangan, termasuk semua kegiatan lain yang berdampak terhadap perpajakan," tegasnya.
Sementara itu, Budi berharap, emiten yang sudah sangat taat pajak atau high-level compliance, tidak dipersulit dalam hal claim atas perbedaan selisih pajaknya. Sehingga tax dispute atau banding emiten terhadap fiskal (PPh dan PPN) bisa cepat diputus untuk memberikan kepastian.
0 Komentar